Kendati harga Bitcoin masih di bawah US$10 ribu per BTC, sejumlah pengamat meyakini investor masih bersikap bullish dan berharap harga naik lebih tinggi lagi.
Sejak harga Bitcoin pulih dari US$8.900 pada pekan ini, Raja Aset Kripto itu bergulat untuk melebihi kisaran US$9.600. Harga itu harus berubah dari resistance menjadi support sebelum harga bisa mendaki lebih tinggi lagi.
Akhir-akhir ini, Bitcoin tampak semakin terpisah dengan fluktuasi harga saham. Kendati demikian, korelasi jangka pendek terhadap pasar modal itu masih tersisa. Hal ini terlihat pada Senin (15 Juni 2020), ketika Bitcoin longsor di bawah US$9 ribu, seiring menurunnya juga kinerja pasar modal.
Sejumlah investor dan analis khawatir korelasi Bitcoin terhadap pasar saham mengancam narasinya sebagai alat simpan nilai atau emas digital. Pihak lain berpendapat hal ini justru sehat, sebab aset kripto semakin juga dikenali dan juga digunakan oleh pelaku pasar saham.
Matt D’Souza CEO Blockware Solutions menjelaskan, bahwa korelasi jangka pendek Bitcoin amat menakjubkan. Terjadi korelasi terhadap emas, USD/CNY dan juga saham perusahaan AS. Hal ini menunjukkan semakin banyak pelaku pasar modal yang memiliki Bitcoin.
Katanya, Bitcoin juga digunakan sebagai perlindungan terhadap ketidakstabilan jangka pendek pasar modal.
“Setiap korelasi memperlihatkan kegunaan yang berbeda, misalnya Bitcoin sebagai ‘emas digital’, perlindungan modal, teknologi disruptif. Kegunaan ini menunjukkan Bitcoin sebagai aset yang tidak terkorelasi secara jangka pendek dan cocok bagi sebagai portofolio tambahan,” kata Matt.
Pergerakan pasar modal relatif masih volatil di tengah gempuran pandemi COVID-19. Harga Bitcoin sering berada di rentang sempit yang memicu likuidasi, sehingga penurunan harga saham dapat berdampak harga aset kripto turut longsor.
Seiring kondisi ekonomi dunia kembali normal, investor aset kripto disebut masih cuan dari simpanan Bitcoin mereka. Menurut Glassnode, 78,9 persen pemilik BTC masih cuan.
Glassnode menghitung harga beli rata-rata dompet Bitcoin ketika ditransfer ke dompet tersebut dan menentukan apakah pemiliknya cuan atau boncos.
Menurut D’Souza, pemilik Bitcoin itu lebih mungkin menahan simpanan mereka dibanding menjualnya di harga breakeven. Saat investor ritel rugi, mereka menjual di harga breakeven agar lega dan hal ini membuat harga tertahan.
“Tetapi, jika semua untung dan menahan simpanan kripto mereka, maka harga asetnya naik lebih cepat. Artinya, lebih banyak yang untung lebih baik agar harga aset naik tinggi tanpa ada pihak yang berusaha keluar di harga breakeven,” jelas D’Souza.
Ukuran lain yang dipakai sebagai harga breakeven adalah harga basis rata-rata, di mana harganya adalah US$5.776. Berdasarkan angka ini, pemilik Bitcoin secara keseluruhan ber-cuan sebesar 61 persen. [cointelegraph.com/ed]
Ikuti media sosial kami
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Harga Bitcoin di Bawah US$10 Ribu, Pengamat: Investor Masih Bullish - Blockchain Media Indonesia"
Posting Komentar