Search

Bitcoin versus Inflasi - Blockchain Media Indonesia

Ketika kini ekonomi global berpotensi besar masuk ke dalam perangkap inflasi dan suku bunga nol bahkan negatif, banyak orang yang memandang Bitcoin sebagai alat berlindung laksana emas.

Pandangan itu kian tegas ketika Bitcoin Halving III terjadi pada 12 Mei 2020 lalu. Mekanisme baku di blockchain Bitcoin itu membuat pasokan BTC kian langka 50 persen hingga tahun 2024.

Dilakukan melalui imbalan BTC kepada para penambang, mereka memperebutkan 6,25 BTC per block dari sebelumnya 12,5 BTC per block. Interval antar block rata-rata 10 menit.

Jadi, ketika bank sentral menambah pasokan uang ke dalam ekonomi, Bitcoin melakukan hal sebaliknya. Dengan kata lain jika uang biasa “pro inflasi”, maka Bitcoin “pro deflasi”.

IKLAN

Namun, kita perlu menyegarkan pemikiran kita dulu soal inflasi. Secara umum, inflasi adalah peningkatan harga barang dan jasa di suatu negara selama periode waktu tertentu dan berkelanjutan.

Secara umum pula, inflasi terjadi karena adanya penurunan daya beli (purchasing power) mata uang fiat alias mata uang yang diterbitkan oleh negara dan dikendalikan oleh masing-masing bank sentral.

Inflasi bisa berubah menjadi hiperinflasi, jika penurunan purchasing power itu mencapai titik kritis, yakni ketika nilai mata uang fiat turun dan terjadi kenaikan harga barang dan jasa dalam waktu yang sangat cepat.

Lalu, apa saja penyebab penurunan nilai uang fiat? Di antaranya adalah peningkatan jumlah uang yang beredar, investor asing menjual simpanan mata uang tertentu atau bahkan investor menyerang mata uang itu.

Hal ketiga ini pernah dilakukan oleh George Soros lakukan terhadap mata uang Inggris di masa lampau.

Nah, ketika inflasi terjadi, barang-barang, seperti makanan dan kebutuhan pokok lainnya menjadi tidak terjangkau oleh banyak orang, khususnya kalangan menengah ke bawah, karena gaji mereka cenderung tidak naik.

Sedangkan di sisi produsen barang itu, perusahaan harus terbeban dengan biaya operasional yang tidak murah, apalagi yang menggantungkan diri dari bahan mentah impor.

Kebalikan dari inflasi adalah deflasi, Di sini, harga barang dan jasa malah turun, karena nilai mata uang fiat meningkat relatif terhadap barang dan jasa yang berbeda. Dengan kata lain deflasi terjadi karena bank sentral berhasil mengendalikan pasokan uang yang diedarkan (sesuai kebutuhan dan bisa diserap baik oleh pasar).

Hal lainnya karena faktor inovasi teknologi yang membuat proses produksi jauh lebih efisien daripada sebelumnya.

Nah, inflasi sendiri memiliki tautan erat dengan tingkat pengangguran. Biasanya, ketika inflasi meningkat maka, tingkat pengangguran menurun. Penyebabnya adalah karena jumlah uang yang beredar lebih merata dan benar-benar digunakan oleh para karyawan ataupun buruh.

Ini juga meningkatkan daya tawar karyawan terhadap pemberi kerja untuk meningkatkan gajinya dan selanjutnya meningkatkan daya konsumsi mereka terhadap barang dan jasa.

Namun, ada pengecualian dalam sejarah peradaban manusia modern. Pada tahun 1970-an, di Amerika Serikat misalnya, ada peningkatan inflasi dan bertambahnya jumlah pengangguran.

Ketika itu warga AS diberikan insentif uang tunai agar terus berbelanja, namun barang dan jasa yang tersedia terbatas. Akhirnya, alih-alih membeli sepotong roti seharga US$1, mereka harus membeli potongan roti berukuran serupa tapi dengan uang yang lebih banyak, misalnya US$1,10 dan seterusnya.

Ketika itu pula harga emas booming karena lebih banyak orang yang membeli agar bisa melindungi mereka dari terjangan inflasi.

Situasi pada tahun itu kurang lebih serupa dengan situasi ekonomi AS saat ini akibat pandemi COVID-19. Sekarang kita menyaksikan pertambahan jumlah uang besar-besaran oleh bank sentral baik di AS sejumlah negara lain.

Harga barang dan jasa juga mulai naik, karena banyak pabrik dan perusahaan tidak beroperasional. Di saat yang sama pengangguran massal pun terjadi. Saat ini ada sekitar 36 juta warga AS yang menganggur. Jikalau itu terus bertambah hingga Desember 2020, maka itu dapat dianggap AS masuk ke jurang depresi besar seperti pada tahun 1930-an silam.

Bitcoin sebagai Lindung Nilai?
Bitcoin secara teoritis bisa dijadikan sebagai lindung nilai terhadap skenario inflasi dan depresi besar, seperti emas. Alasannya sederhana, karena ia berwujud digital, mudah diakses, spekulatif, cukup likuid, langka dan terbatas pasokannya.

Pada titik tertentu, jika tersedianya Bitcoin lebih sedikit daripada permintaan, maka dalam hal nilai harga per unit BTC seharusnya meningkat.

Jadi, dalam potensi inflasi, hiperinflasi dan depresi, Bitcoin setidaknya berperan sebagai kekuatan penyeimbang, selain emas.

Contoh hiperinflasi terdekat dalam sejarah kita adalah di Venezuela, Hongaria dan Zimbabwe. Di sana uang kertas tak ada artinya sama sekali, malah lebih mirip sampah karena tak bernilai.

Jauh sebelum itu adalah di Jerman pada tahun 1921-1923 dan di Indonesia pada tahun 1963-1965. Di Jerman kala itu inflasi terus naik 322 persen setiap bulan. Sedangkan di Indonesia di masa kepemimpinan Soekarno, inflasi luar biasa mencapai 600 persen.

Bitcoin, di tengah beragam kontroversinya (utamanya konsentrasi dan sentralisasi oleh penambang), namun ia secara struktur teknologi bersifat deflasi. Uniknya lagi, inilah kali pertama sepanjang peradaban manusia kita memiliki teknologi yang mampu “melangkakan” jumlah unitnya, “memvirtualkan” karakter penambangan emas.

Jadi, amat sulit menyangkal, bahwa keunggulan Bitcoin sudah mengisi ruang abad ke-21 ini, sama seperti keunggulan emas mengisi ruang di abad ke-20. [red]

Ikuti media sosial kami

INFO IKLAN/AD INFO

Let's block ads! (Why?)

Baca Or Read Again https://blockchainmedia.id/bitcoin-versus-inflasi/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Bitcoin versus Inflasi - Blockchain Media Indonesia"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.