Di sebuah grup WhatsApp tersebutlah seorang technical analyst. Saya tahu benar nama lengkapnya. Tapi di artikel ini, sebut saja namanya BSG. Hampir setiap hari dia sangat rajin mengirimkan ramalan-ramalan harga BTC/USD. Anggota grup pun hepi, karena sejumlah besar ramalannya sering tepat, bukan selalu tepat seperti yang dia tegaskan di awal persuaan. Jadi, kami semua di grup itu, punya acuan yang sangat jelas, kapan akan beli dan kapan akan jual Bitcoin, lengkap dengan tanggal dan jamnya. Emejing!
OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id
Seorang sahabat, yang juga anggota grup itu, tak hanya kesemsem soal detail ramalannya, tetapi kesemsem juga dengan metode ramalannya. Jelas terlihat memang, tidak ada penggunaan indikator sebagaimana yang biasa kita lihat di Trading View. Kata sang analisis dengan singkat, “Saya pakai metode matematika rumit.” Saya sendiri memang tak mau ambil pusing soal metode itu. Toh, saya sudah pusing sendiri kalau mendengar kata “matematika”.
Lah, lantas apa hubungan dua alinea di atas dengan judul tulisan ini? Begini, kalau bicara hash rate, berarti kita bicara analisis fundamental, tentang sejauhmana kita bisa menerokai situasi fundamental teknologi blockchain, dalam hal ini adalah Bitcoin. Tapi, ini hanya salah satunya saja, kok. Silahkan kalau tak setuju dengan istilah analisis fundamental, tapi saya merujuk ini dari Mati Greenspan Analis Senior di eToro. Dan kami bukan seorang fundamentalis apalagi seorang Bitcoin Maximalist.
Mengapa saya mulakan dengan dua artikel di awal, sebab selalu akan ada dua pihak yang berbeda di sini. Satu kubu dia lebih doyan di analisis teknikal, dan di kubu lain dia suka lihat fundamental teknologinya (kalau saya memang tak mampu soal analisis teknikal, gara-gara matematika itu). Dua kubu ini akan terus melengkapi cuan dan ruginya kamu. Iya!
Hash Rate? “Hush”, Apa Itu?
Bicara hash rate berarti bicara pencerminan soal jumlah penambang Bitcoin, spesifikasi perangkat keras (lazimnya menggunakan ASIC mining) yang digunakannya, termasuk rasa percaya diri para penambang itu terhadap Raja Kripto itu. Hash rate adalah satuan ukur kekuatan komputasi dalam penambangan Bitcoin. Semakin besar rate-nya, maka semakin kuatlah jaringan blockchain itu dan ini turut menyumbangkan soal tingkat keamanannya.
Kalau Anda masih bingung, anggap saja hash rate itu adalah satuan ukuran jumlah anggota satpam di sebuah perumahan. Semakin banyak penghuninya, apalagi aktivitasnya padat, maka perlu pengamanan yang cukup, supaya tak terjadi “pemalingan” dan huru-hara ataupun hura-hura yang berujung hura hara. Untuk Hara saya jadi ingat proyek HARA. Ah, sudahlah! Tapi, tak hanya jumlah personal satpam yang ditambah, tetapi senjatanya, kemampuan bela diri dan lain-lain. Yang penting situasi aman dan kondusif.
Faktanya baru kemarin terjadi, hash rate blockchain Bitcoin sudah mencapai 100 juta Tera Hash (TH) per detik untuk pertama kalinya sepanjang masa. Itulah kekuatan blockchain Bitcoin per detik dalam proses penambangannya. Per detik loh! Jangan salah!
Capaian tertinggi sebelumnya adalah 19 Juni 2019 di level 65 juta TH per detik. Level itu melampaui level serupa pada 25 September 2018. Sejak tanggal itu, hash rate terus menurun hingga 30 juta TH per detik pada 18 Desember 2018.
So, dari sudut pandang para penambang, semakin tinggi spesifikasi ASIC mining-nya, maka ia lebih berpeluang lebih besar daripada penambang lain yang berspesifikasi lebih rendah, apalagi jikalau jumlah unit ASIC mining-nya lebih banyak.
Ini mirip seperti main game Project Cars 2 (2017) yang perlu spesifikasi komputer minimal Intel Core i5-3450 @5.0 GHz, AMD FX-8350 @4.0 GHz dengan GPU Nvidia Geforce GTX 680 atau setara dan RAM 8 GB. Toh memang jeroan ASIC miner itu sendiri adalah GPU, tetapi dirancang khusus untuk blockchain Bitcoin.
Dampak ke Harga Bitcoin
Nah, kalau bicara soal ini jawabannya cukup sulit. Tapi, okelah kita lihat sedikit jauh ke belakang dengan anggapan ini: Jikalau hash rate tinggi, maka para penambang semakin percaya diri dengan adanya pembelian Bitcoin di pasar. Para penambang pun semakin banyak atau jumlahnya sedikit, tapi spesifikasi ASIC miner-nya lebih tinggi daripada sebelumnya.
Para penambang tentu berharap mendapatkan imbalan Bitcoin yang lebih banyak daripada sebelumnya, sehingga ketika Bitcoin itu dijual, mereka dapat menutupi biaya operasional dan mengembalikan modal sedikit demi sedikit.
Kembali ke alinea sebelumnya: Capaian tertinggi sebelumnya adalah 19 Juni 2019 di level 65 juta TH per detik. Level itu melampaui level serupa pada 25 September 2018. Sejak tanggal itu, hash rate terus menurun hingga 30 juta TH per detik pada 18 Desember 2018.
Setahun sebelumnya, ketika Desember 2017, saat Bitcoin mencapai US$20.000 lalu merosot pesat hingga US$3.100, hash rate malah meningkat dari 13 juta TH per detik dan mencapai puncaknya pada 25 September 2018, yakni sekitar 60 jutaan TH per detik. Ketika September 2018, harga Bitcoin berada di kisaran US$6 ribuan.
Harga Bitcoin mulai terlihat pulih sejak Desember 2018-Januari 2019 dan masuk wilayah tren naik sejak awal tahun itu, dan disertai dengan hash rate yang terus menaik.
Jadi, apa yang terjadi ketika hash rate yang meningkat di Desember 2017, sedangkan harga Bitcoin menurun, adalah spekulasi dari para penambang sendiri, yang berharap pasar merespons Bitcoin secara positif, berharap harga bisa naik kembali.
Yang terjadi adalah sebaliknya, di tengah ketidakpastian, semakin banyak yang menjual Bitcoin dan itu akhirnya memaksa para penambang menjual Bitcoin hasil penambangan untuk menutupi biaya operasional yang sangat tinggi. Ketika modal tak lagi tertutupi, yang terjadi adalah pasar menjadi crash, semakin banyak lagi yang menjual Bitcoin-nya, hingga akhirnya sejumlah besar penambang bangkrut, gulung tikar dan gulung dan gantung ASIC miner-nya. Nestapa! Bahkan tidak sedikit yang membuangnya ke tempat sampah terdekat.
Padamlah itu penambangan Bitcoin, jumlah penambang berkurang dan hash rate pun menurun.
Nah, sejak awal tahun ini, tren naik hash rate terjadi dan terus mencapai titik tertinggi baru setiap hari. Kita tunggu saja respons dari pasar terhadap Bitcoin, pasalnya para penambang sudah menaiktrafkan (upgrade) mesin-mesin penambangannya, karena (berspekulasi), pasar sudah semakin dewasa, semakin paham soal Bitcoin dan ada perusahaan-perusahaan besar seperti Bakkt yang menawarkan produk Bitcoin Berjangka berimbal hasil Bitcoin yang asli kepada institusi.
Bitmain, si produsen ASIC miner, sejak September pun mengeluarkan produk-produk terbaru dengan spesifikasi beragam yang lebih tinggi agar para penambang terus mendulang laba.
Inilah yang diharapkan dapat menggenjot kenaikan harga Bitcoin di kemudian hari: Ada potensi pembelian Bitcoin dalam jumlah besar oleh institusi+para penambang menaiktrafkan mesin-mesin penambangannya+menanti event terbesar, yakni Bitcoin Reward Halving pada Mei/Juni 2020 mendatang.
Secara teoritis, soal yang terakhir itu, ketika jumlah unitnya semakin langka, dan pembelian di pasar stabil atau lebih tinggi, maka mampu memicu harga Bitcoin naik lebih tinggi lagi, sebagaimana yang terjadi pada Bitcoin Reward Halving sebelumnya.
Teori ini sangat menggoda, dan cukup menggoda saya untuk menjual Bitcoin jikalau melebihi US$20.000 (kalau saya memang punya). [vins]
Ikuti media sosial kami
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Hash Rate Bitcoin Sudah 100 Juta TH per Detik, So What? - Blockchain Media Indonesia"
Posting Komentar