Jakarta: Pergerakan harga bitcoin bikin geleng-geleng kepala. Sejak diperkenalkan pada 2009, sekeping bitcoin (1 BTC) masih dihargai USD 0,00076 setara Rp 10. Dua tahun kemudian melesat menjadi Rp 13 juta, dan terus menggila di 2017.
Akhir 2017, harga bitcoin sempat menyentuh angka Rp 260 juta per BTC. Tapi, dalam kurun satu bulan harganya terjun ke angka Rp 140 juta per BTC, dan terus menunjukkan penurunan.
Peregrakan yang cepat dan lebar dari nilai bitcoin, tak dipungkiri, banyak membuahkan orang kaya baru.
Bank Indonesia (BI) gerah. Dulu, bitcoin tidak dipandang, kini buru-buru dilarang.
Pada 13 Januari, bank sentral ini mengeluarkan pengumuman tentang larangan penggunaan uang virtual (cryptocurrency) alias uang kripto sebagai alat pembayaran.
Termasuk bitcoin. Penggunaan uang kripto yang paling populer itu sebagai alat tukar, melanggar Undang-Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Dalam diagnosis BI, ada penyakit pada bitcoin. Duit virtual itu menyimpan bom waktu yang bisa meledak di saat tertentu.
Masalahnya, bukan tingginya harga bitcoin, melainkan pergerakan harga yang tidak stabil. Tempo-tempo melambung, sebentar-sebentar turun tajam.
Fluktuasi itu dinilai berisiko. Banyak kalangan menyebut risiko itu bernama Bubble Bitcoin.
Menkeu Sri Mulyani memberikan keterangan kepada awak media soal uang virtual usai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, Jakarta, 22 Januari 2018. (KEMENKEU)
Gelembung udara
Bubble Economy bisa diibaratkan seperti gelembung udara, yang pada waktu tertentu akan pecah karena tekanan udara di dalamnya.
Masih ingat krisis Amerika Serikat pada musim panas 2006? Ya, krisis itu disebabkan karena terjadinya bubble dalam investasi properti. Harga perumahan melonjak akibat meningkatnya permintaan dan spekulasi.
Jadi begini; sebelum krisis, pengusaha properti di AS menjual rumah dengan harga cukup tinggi, tapi masih sesuai dengan daya beli masyarakat. Lantas bank menawarkan bunga KPR sangat rendah dalam 2-3 tahun pertama. Tetapi, pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi daripada KPR biasa.
Masyarakat pun tergiur, berbondong-bondong berinvestasi rumah. Pertimbangannya, sebelum masa 2-3 tahun itu habis, pasar properti pasti sudah naik lagi, dan saat itulah mereka menjual rumahnya. Untung besar.
Perumahan di AS mendadak laris manis, pengusaha properti juga makin masif membangun perumahan lebih banyak lagi. Harapannya mendapat keuntungan yang lebih besar.
Puncaknya, pada April 2006, harga properti tiba-tiba anjlok. Kenapa? terlalu banyak rumah di AS, melebihi daya beli masyarakat. Melebihi jumlah permintaannya. Pengusaha properti bangkrut karena sudah terlanjur membangun properti, sementara sepi pembeli.
Masyarakat terkena imbasnya. Duit yang kadung diinvestasikan di perumahan menjadi tidak berharga. Karena harga properti terus merosot.
Dampak bubble properti di AS mulai menggerogoti sektor keuangan. Semakin terasa dua tahun kemudian. Puncaknya, pada September 2008, beberapa lembaga keuangan raksasa mengalami kebangkrutan.
Inilah fenomena pecahnya gelembung properti di AS. Harga rumah saja, yang ada fisiknya, bisa turun dan berimbas pada krisis ekonomi. Lalu, bagaimana dengan uang virtual yang tidak berwujud?
Tulip Mania
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, fenomena bitcoin atau mata uang virtual mengingatkan pada peristiwa Tulip Mania, krisis ekonomi pertama yang terjadi akibat gelembung ekonomi.
Krisis itu terjadi di Belanda pada abad ke-17. Popularitas bunga tulip membuat perdagangan bonggol bunga khas negeri kincir angin semakin pesat.
Tulip menjadi simbol status dan gengsi tersendiri bagi kalangan bangsawan dan orang-orang kaya. Mereka yang tidak memiliki bunga tulip di halaman rumahnya, dianggap tak berkelas.
Tak disangka, demam bunga tulip juga merembet ke masyarakat menengah. Sampai-sampai orang rela menjual tanah, ternak, kebun, membobol tabungan, bahkan berutang demi memperoleh bunga tulip. Tak masalah, saat tulip dijual harganya tinggi dan menguntungkan.
Singkat cerita, bunga tulip menjelma bak komoditas yang bisa dispekulasi. Tepatnya pada Februari 1637, harga tulip jatuh dalam waktu singkat. Alhasil, banyak orang bangkrut dengan setumpuk tulip yang tidak berharga lagi. Sementara harta benda sudah ludes terjual.
Fenomena tulip serupa dengan demam batu akik, bunga anthurium, dan ikan louhan; sempat mengalami kenaikan harga yang luar biasa, lantas menghilang dalam seketika.
“Jadi, setiap aset yang kelebihan likuiditas akan berkahir seperti itu. Aset yang naik (harganya) tanpa ada pendukung fundamental akan menyebabkan bubble,” kata David saat berbincang dengan Medcom.id, Kamis, 18 Januari 2018.
Pula bitcoin dan jenis mata uang virtual lainnya, termasuk investasi yang sangat berisiko. Pergerakan nilainya tidak stabil, dan cenderung digunakan sebagai alat spekulasi. Lagi pula, pasar kripto juga tidak memiliki jaminan atau otoritas yang bertanggungjawab jika terjadi gejolak.
“Saya bilang ini investasi yang ngeri-ngeri sedap, sangat berisiko. Pasar cryptocurency ini dibuat menjadi semacam tempat spelukasi, tidak ada underlying-nya (jaminan)” katanya.
David bilang, pasar kripto sudah menyebabkan bubble, dan sudah pecah. Artinya, harga bitcoin sudah tidak bisa kembali naik. Ini dilihat dari tren harganya yang terus menurun - setelah menyentuh level tertinggi pada Desember 2017, yakni Rp 260 juta per BTC.
“Lihat saja harganya semakin drop,” pungkas David.
Kendati demikian, krisis bitcoin tidak akan memberikan dampak sistemik, walaupun ada banyak mata uang virtual yang beredar. Sebab, kapitalisasi pasar uang kripto masih terbilang kecil ketimbang kapitalisasi mata uang kuat di dunia sperti Dolar AS dan Euro. “Belum sistemik.”
David Sumual. (ANTARA)
Belum pecah
Berbeda pandang dengan David, CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan tidak ambil pusing soal isu bubble bitcoin. Kata Oscar, semua komoditas memiliki potensi bubble.
Ambil misa emas. Semua orang menganggap harga logam mulia itu selalu naik, tapi tidak dianggap bubble. Padahal, kata Oscar, harga emas tak selalu naik. Justru sempat anjlok pada 2008 ketika krisis global melanda. Harganya turun 34 persen dari USD 1.030 per troy ons menjadi USD 680,8 per troy ons.
Saat itu, ramai kalangan menggap emas sedang bubble. Kenyataannya, selepas krisis, harga emas kembali berkilau, sampai sekarang.
Kata Oscar, bubble terjadi jika harga bitcoin tidak bisa meningkat lagi. Sementara itu, umur bitcoin baru sembilan tahun. Masih ada potensi untuk bergerak naik.
“Semua komoditas sama, naik-turun. Selalu ada potensi bubble. Komoditas yang harganya diserahkan ke market akan selalu punya potensi itu,” jelas Oscar kepada Medcom.id, Jumat, 19 Januari 2018.
Pada sisi lain, penggiat mata uang digital dari Crypto Indonesia Club (CIC) Sigit Putra Tanoko mengakui, bitcoin bisa menyebabkan bubble. Tapi, bubble yang tidak pecah. Alasannya, bitcoin memiliki jumlah yang terbatas. Hanya diproduksi 21 juta keping, dan baru beredar di 16 juta keping.
“Bubble, tapi tidak pecah. Rupiah juga mengalami bubble, tapi tidak pecah karena digunakan setiap hari untuk transaksi,” kata Sigit saat berbincang dengan kami di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 20 Januari 2018.
Analis cryptocurrency dari Crypto Indonesia Club (CIC) Sigit Putra Tanoko. (Medcom)
Sigit mencontohkan, dua sampai tiga puluh tahun lalu uang senilai Rp 500 bisa digunakan untuk uang saku anak sekolah, bahkan masih bisa sisa untuk ditabung. Tapi, nilai Rp 500 saat ini cuma bisa dipakai untuk membeli 3 buah permen.
Nilai rupiah, kata Sigit, sudah tidak bisa lagi meningkat. Setiap tahun nilainya digerus inflasi (kenaikan harga barang). Berbeda dengan bitcoin yang tidak dipengaruhi inflasi.
“Rupiah bubble tapi tidak pecah karena masih digunakan setiap hari,” ujarnya.
Jadi, apakah bubble bitcoin sudah pecah seperti kata David? Atau tidak pecah seperti analisa Sigit? Semua menunggu. Yang pasti, saat ini, pergerakan harga bitcoin masih terus menurun.
(COK)
Baca Or Read Again http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/xkEGPPrN-menunggu-ledakan-gelembung-bitcoinBagikan Berita Ini
0 Response to "Menunggu Ledakan Gelembung Bitcoin"
Posting Komentar