Pada 3 Januari 2020, serangan pesawat tak berawak Amerika Serikat membunuh komandan militer paling terkenal Iran, yang berakibat peningkatan ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran. Masyarakat global pun mulai khawatir serangan tersebut dapat memicu konflik di Timur Tengah yang lebih luas.
Para investor khawatir konflik antara kedua negara akan meningkat menjadi perang yang berkepanjangan dan merusak, sehingga sebagian dari mereka meningkatkan alokasi dana mereka pada emas dan Forex. Sementara sebagian lainnya segera beralih ke cryptocurrency, seperti bitcoin, berujung pada lonjakan tinggi harga bitcoin.
“Emas dan mata uang tradisional seperti Dolar AS, Yen Jepang, Euro, Pound atau Renminbi Cina semuanya diterima secara universal sebagai aset safe-haven, tetapi bagaimana dengan bitcoin? Apakah BTC merupakan aset safe-haven di bawah gejolak geopolitik dan ekonomi yang berkembang?” demikian pertanyaan ini disampaikan Ashton Wolfe, direktur marketing BeInCrypto seperti dilansir laman resminya, Sabtu (18/1). BeInCrypto adalah laman berita yang didirikan pada Agustus 2018, yang khusus mengulas teknologi kriptografi, fintech dan internet.
“Di tengah semua kekacauan dan kebingungan, meskipun bitcoin berhasil mencapai US$ 9.011, harga tertinggi tahun ini, itu masih merupakan taruhan berisiko tinggi dan tidak dapat menjadi tempat yang aman bahkan di saat gejolak,” ujarnya.
Sejumlah alasan bahwa mata uang kripto belum bisa dijadikan aset safe haven seperti emas dan valas, menurut Wolfe antara lain karena volume pasar Bitcoin masih terlalu kecil untuk mendukung konsep aset safe-haven.
“Dalam investasi tradisional, aset safe haven adalah aset di mana harga biasanya naik ketika pedagang takut akan meningkatnya risiko atau kerugian, sehingga mereka mengalihkan uang dari aset berisiko ke aset yang lebih aman untuk mempertahankan nilai investasi,” ujar Wolfe.
Bahkan, kata Wolfe, dibandingkan dengan pasar keuangan tradisional, kapitalisasi pasar bitcoin kurang dari US$200 miliar, sehingga masih terlalu kecil untuk melakukan fungsi sebagai aset safe-haven. Selain itu, karena kurangnya regulasi, kerap terjadi manipulasi dan penipuan di pasar bitcoin. “Itu juga salah satu alasan mengapa SEC (United States Securities and Exchange Commission atau Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat) menolak atau menunda (penerapan transkasi)Bitcoin ETF,” imbuhnya.
Alasan lainnya, sejauh ini Bitcoin tidak dapat digunakan dalam lingkungan yang kacau karena kurangnya akses internet. Di wilayah yang bergejolak, bisa terjadi putusnya koneksi pedagang bitcoin dan pertukaran cryptocurrency global karena kurangnya akses Internet atau konektivitas terbatas.
Wolfe menyebut Iran, ketika Garda Revolusi menindak protes nasional terhadap korupsi politik dan kenaikan harga gas, akses internet global ditutup selama hampir lima hari. Dan aplikasi dompet bitcoin dan aplikasi pertukaran diblokir meskipun konektivitas Internet kembali diaktifkan. Dalam kondisi ini, bitcoin tidak dapat dianggap sebagai alternatif mata uang serta aset safe haven.
Dalam periode yang penuh dengan ketidakpastian, emas dan valas tetap menjadi aset safe-haven yang populer dan paling dapat diandalkan yang akan menjadi pilihan investor. Yen dan emas Jepang menguat karena berita pembunuhan komandan militer Iran. Yen berada di level tertinggi tiga bulan di 110,2 per dolar AS di perdagangan Asia. Sementara itu, dolar AS juga memulai pekan penguatan di tengah optimisme atas hubungan perdagangan AS-Cina.
“Untuk pasar emas, sementara ketidakpastian geopolitik akan menambah volatilitas, investor harus memperhatikan pertumbuhan hutang global. Ketika bank sentral dan pemerintah terus memompa likuiditas ke pasar keuangan yang akan memaksa emas melonjak ke harga yang lebih tinggi pada tahun 2020,” tutup Wolfe.
Sumber : Majalah Investor
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bitcoin Belum Bisa Jadi Aset "Safe Haven" - Investor Daily"
Posting Komentar