Menakar risiko investasi Bitcoin sejatinya susah-susah mudah. Ia pula sekaligus kontroversial, karena tak semua orang setuju. Tapi, ada sudut pandang lain yang sangat layak diterokai.
Mata uang merupakan schelling point atau focal point, sebuah titik di mana banyak orang berkumpul, fokus pada satu objek tertentu. Seseorang memakai uang tertentu, sebab uang tersebut juga dipakai orang lain, ia dipercaya.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, logam mulia seperti emas merupakan schelling point ideal bagi mata uang.
Tetapi kemudian diganti dengan uang fiat yang mencerminkan pandangan sistem perbankan tentang nilai produksi. Uang fiat seperti dolar AS, yen dan lain-lain, diterbitkan oleh negara dan sangat bergantung pada nilai-nilai politik penyelenggara negara.
Jika investor meyakini Bitcoin tidak akan runtuh, maka posisi yang tepat adalah posisi long atau membeli, karena efek schelling point.
Kendati demikian, investor juga harus berpikir pengalokasian setiap posisi dalam portofolio mereka, berdasarkan faktor risiko dan imbalan serta hubungan dengan jenis aset lain.
Bitcoin dan Rumus Hitung Emas
Runtuhnya satu pasar uang bisa berdampak segera ke pasar lain, sehingga investor lebih berhati-hati dan melakukan valuasi yang murah.
Investor yang khawatir pasar akan turun drastis umumnya melindungi nilai uangnya dengan membeli aset emas serta obligasi (surat utang negara atau perusahaan). Jika investor berpikir Bitcoin bisa menjadi aset safe haven selayak emas, maka ada kemungkinan Bitcoin akan menjadi besar dalam kategori tersebut.
Byrne Hobart, penulis teknologi, mengatakan cara mengukur nilai Bitcoin adalah dengan menghitung rumus emas ditambah dolar AS dikali dengan probabilitas Bitcoin menjadi alat simpan nilai global.
Persediaan emas global saat ini sekitar 190 ribu ton metrik. Dengan harga US$1.470 per ounce, emas bernilai kurang lebih US$9 triliun. Sedangkan bank sentral menyimpan sekitar US$6,8 triliun dolar AS.
Jika diasumsikan Bitcoin memiliki peluang 5 persen untuk menggantikan emas, dengan tingkat pengembalian tahunan sebesar 8 persen, maka valuasi kapitalisasi pasar Bitcoin adalah US$170 miliar, sedikit di atas kapitalisasinya saat ini.
risiko Investasi Bitcoin: Faktor tak Langsung
Dalam konteks portofolio, ada perbedaan antara Bitcoin sebagai teknologi yang optimistis dengan Bitcoin sebagai aset darurat yang pesimistis.
Jika siklus ekonomi mencapai titik terendah, masuk akal bagi investor untuk menjual aset yang melindungi nilai dalam tahap pemulihan ekonomi, seperti obligasi dan emas.
Meninjau faktor-faktor tersebut, Hobart mengatakan ada tiga kemungkinan penyebab pergerakan harga Bitcoin.
Pertama, harga Bitcoin sangat acak dan tidak terkait dengan pembelian maupun penjualan aset untuk melindungi nilai investasi.
Kedua, harga Bitcoin didorong faktor-faktor yang tidak secara langsung memengaruhi instrumen investasi lain.
Ketiga, Bitcoin memiliki sifat risiko sekaligus aman, sehingga merupakan variabel dengan hasil akhir aset yang stabil.
Selama investor optimistis terhadap hasil akhir Bitcoin, korelasi rendah terhadap aset lain, berarti Bitcoin berguna untuk diversifikasi yang kuat.
Saat investor memutuskan Bitcoin berpeluang menjadi aset aman, mereka membeli sedikit. Dampaknya ada tiga hal, yaitu harga Bitcoin naik, volatilitasnya menurun sebab investor mengatur ulang simpanan mereka, dan meningkatkan kemungkinan Bitcoin menjadi aset aman.
Seiring naiknya peluang Bitcoin menggantikan emas, tingkat pengembalian yang dibutuhkan menurun. Di sisi lain, harga Bitcoin yang meningkat disertai dengan risiko regulasi yang ketat.
Pemerintah bisa melarang Bitcoin, tetapi Bitcoin adalah jaringan desentralistik yang bergerak sangat cepat, sehingga sulit dilarang. Pun jika dilarang, hal itu memperlihatkan uang fiat justru merupakan mata uang lebih buruk di dunia yang banyak menggunakan Bitcoin. [marker.medium.com/ed]
Ikuti media sosial kami
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menakar Risiko Investasi Bitcoin - Blockchain Media Indonesia"
Posting Komentar